Penulis : Ns. Linda Dwi Novial Fitri,M.Kep, Sp.Kep Jiwa
Pandemi COVID-19 merupakan bencana non alam yang dapat memberikan dampak pada semua aspek kehidupan bermasyarakat. Dampak perubahan yang terjadi dapat meliputi pergeseran budaya, kehidupan sosial, ekonomi, beragama, belajar, perubahan kesehatan secara umum serta jiwa dan psikososial bagi setiap orang. Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai kebijakan dalam menyikapi situasi darurat terkait dimasa pandemi COVID-19. Kebijakan pembatasan sosial dan jaga jarak diri (social and physical distancing), Kerja dari Rumah (KdR) dan Belajar dari Rumah (BdR), atau PSBB (pembatasan sosial berskala besar).
Wabah pandemi ini memiliki dampak negatif pada kesehatan fisik dan psikologis individu dan masyarakat, dampak psikologis selama pandemi diantaranya gangguan stres pascatrauma (post-traumatic stress disorder), kebingungan, kegelisahan, frustrasi, ketakutan akan infeksi, insomnia dan merasa tidak berdaya. Bahkan beberapa psikiatris dan psikolog mencatat hampir semua jenis gangguan mental ringan hingga berat dapat terjadi dalam kondisi pandemik ini. Bahkan kasus xenofobia dan kasus bunuh diri karena ketakutan terinfeksi virus sudah mulai bermunculan.
Selama masa Pandemi COVID-19 ini telah mendorong adanya perubahan beban kerja rumah tangga dan pengasuhan, pengeluaran cenderung bertambah dan kekhawatiran akan kehilangan pekerjaan dan akses belajar yang kurang optimal. Pandemi COVID-19 ini telah memengaruhi banyak aspek kehidupan manusia mulai dari aspek spiritual, aspek sosial, aspek finansial, aspek keluarga, aspek mental dan emosional.
WHO (2020) telah melakukan survey tentang kesehatan mental selama pandemi COVID-19. Berdasarkan hasil survei tersebut, diketahui bahwa banyak negara yang melaporkan peningkatan akses terhadap layanan kesehatan mental. Selama masa pandemi, permintaan terhadap layanan kesehatan mental disebut meningkat secara dramatis. Terdapat 83% dari 130 negara yang telah membuat kesehatan mental dalam rencana penanganan terhadap pandemi. Hal ini menunjukkan bahwa COVID-19 memang memberikan dampak yang sangat berpengaruh bagi kesehatan mental.
Mengalami penyakit mental. Berdasarkan penelitian para psikiatri satu dari lima penyintas COVID-19 yang mengalami penyakit mental. Dari penelitian tersebut ditemukan 20% dari mereka yang terinfeksi COVID-19 terdiagnosis dengan gangguan kejiwaan dalam waktu 90 hari. Kecemasan, depresi, dan insomnia adalah gejala paling umum di kalangan pasien COVID-19 yang telah pulih. Para peneliti juga menemukan risiko demensia, yaitu kondisi penurunan daya ingat, menjadi lebih tinggi secara signifikan.
Masalah kesehatan jiwa dan psikososial tidak hanya dialami oleh masyarakat, namun juga bagi tenaga kesehatan. Mereka juga menjadi was-was, cemas dan takut tertular atau menularkan pada orang lain saat merawat klien dengan COVID 19. Kondisi ini tentu tidak diharapkan karena mereka yang seharusnya mampu memberikan pelayanan dan membantu orang lain, justru merekalah yang menjadi penyebab dan atau menjadi akibat dari tindakannya tersebut. Bahkan yang lebih ironis lagi bagi Tenaga Kesehatan yang terkonfirmasi positif COVID-19 dikucilkan dan tidak diterima oleh masyarakat. Tenaga Kesehatan yang menjadi garda terdepan dalam penanganan kasus COVID-19 justru disudutkan, dikucilkan, dicemooh oleh masyarakat pada saat mereka justru memerlukan pertolongan. Hal ini sudah seharusnya menjadi perhatian penting bagi kita semua, termasuk organisasi profesi.
Menurut pendapat dari para ahli bahwa kesehatan fisik dan mental adalah satu kesatuan yang terintegrasi dan sangat perlu dikelola agar kesemuanya tetap dalam kondisi seimbang. Keseimbangan antara kesehatan fisik dan mental di masa pandemi juga telah menjadi perhatian oleh pemerintah. Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan buku pedoman Dukungan Kesehatan Jiwa Dan Psikososial (DKJPS) pada pandemi COVID-19 (Vebriyanti, 2020). Berdasarkan kebijakan dari WHO, buku tersebut dapat menjadi panduan bagi tenaga kesehatan dalam memberikan dukungan kesehatan jiwa dan psikososial bagi Orang Sehat (OS), Orang Dalam Pantauan (ODP), Orang Tanpa Gejala (OTG), Pasien Dengan Pengawasan (PDP), Pasien Konfrimasi COVID-19, dan kelompok rentan
Ikatan Perawat Kesehatan Jiwa Indonesia (IPKJI) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) juga turut mengambil sikap dengan berperan serta secara aktif bersama masyarakat wilayah Kota Samarinda untuk melakukan kegiatan Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psikososial (DKJPS) selama masa pandemi COVID-19.
Masyarakat menjadi bagian terpenting dalam upaya mempertahankan budaya Indonesia yang dilandasi dengan unsur gotong royong serta kekohesifan yang sudah melekat. Masyarakat Indonesia yang memiliki sifat kebersamaan, kekeluargaan, toleransi, budaya peduli yang sangat tinggi terhadap orang lain. Hal ini menjadi perhatian penting bagi IPKJI karena di masa pandemi saat ini, dikhawatirkan akan terjadi pergeseran terhadap nilai-nilai luhur tersebut. IPKJI bermaksud memberikan kontribusi secara positif dalam rangka meminimalisir dampak negatif COVID-19 terhadap aspek kehidupan masyarakat khususnya dari unsur kesehatan jiwa
Peran serta aktif masyarakat bersama IPKJI ini dikemas dalam kegiatan pelatihan dukungan kesehatan jiwa dan psikososial (DKJPS) yang dilanjutkan sampai kegiatan monitoring dan evaluasi dan semua dilakukan secara daring. Melalui kegiatan ini diharapkan kiranya masyarakat luas akan mendapatkan gambaran mengenai strategi yang sederhana dan tepat guna serta tepat metode menggunakan nilai gotong royong dalam mengatasi kasus COVID 19.
Kegiatan dikemas dalam bentuk pelatihan dan evaluasi kegiatan serta dilakukan analisa deskriptif terhadap data baik secara kuantitatif (sampel 672 orang) dan kualitatif (partisipan 25 informan) dan semuanya berbasis relawan. Tehnik pelatihan secara daring dengan menggunakan media Zoom Meeting dan WhatsApp serta Google Form (Skrining, Adapdasi Kebiasaan Baru/AKB, Keluarga Binaan). Waktu pelaksanaan selama 30 hari yaitu 27 Agustus 2020 sampai dengan 27 September 2020. Peserta dalam kegiatan berjumlah 672 orang yang terdiri dari unsur PKK Se-Kotamadya Samarinda, kader kesehatan, tokoh masyarakat, tokoh agama, aparatur 10 kecamatan dan aparatur dari 53 kelurahan. Tahap pelaksanaan kegiatan pelatihan terbagi menjadi 2 sesi: sesi pertama 1 hari dilakukan pemberian materi melalui kelas daring menggunakan Zoom Meeting. Sesi kedua: pembelajaran praktik langsung secara daring yaitu penerapan teori yang sudah disampaikan di hari pertama dengan mengisi Google Form yaitu pada diri peserta sendiri pada minggu 1, kemudian praktik pada keluarga peserta sendiri pada minggu ke 2, praktik penerapan pada satu keluarga binaan (keluarga lain diluar keluarga inti, tetangga) pada minggu ke 3. Evalusi dilakukan secara daring sebanyak 2 kali yaitu pada minggu ke 2 dan ke 4. Tiga aspek evaluasi yaitu: Persepsi, Kepatuhan dan Kemampuan. Sumber daya manusia (SDM) dalam kegiatan ini terdiri dari 10 fasilitator IPKJI Kaltim dan setiap fasilitator menjadi pendamping pada 1 kecamatan. Kegiatan dikemas dalam bentuk pendampingan secara daring menggunakan grup WhatsApp dan setiap kecamatan memiliki 1 orang fasilitator dari IPKJI serta terdapat unsur tenaga kesehatan (1 atau 2 perawat, bidan dan 1 dokter dari setiap Puskesmas). Kegiatan dalam setiap grup yaitu melakukan motivasi dan berdiskusi adanya hambatan atau kesulitan serta evaluasi pada masing-masing peserta dalam mengisi skrining individu, keluarga, masyarakat (keluarga binaan) secara harian.
Hasil :



Selain data kuantitatif seperti yang telah dipaparkan pada tabel 1, 2 dan 3 diatas, selanjutnya dilakukan wawancara melalui virtual meeting terhadap 25 partisipan dengan hasil sebagai berikut: diperoleh 3 tema utama yaitu Tema 1. Persepsi mengenai COVID-19; Tema 2. Stigma terhadap COVID-19; Tema 3. Kemampuan Perilaku Baru.
Tema 1 Persepsi: diperoleh 3 kategori yaitu kategori satu terkait lebih memahami tentang COVID-19 dengan kata kunci “jadi lebih paham mengenai COVID-19….”. Kategori dua terkait cara-cara untuk mencegah penularannya dengan kata kunci “lebih paham ternyata ada cara untuk mengatasinya…”. Kategori tiga terkait strategi untuk berbagi informasi yang aman dengan kata kunci “lebih mengetahui metode yang dapat kami gunakan untuk menyebarkan informasi yang baik…”.
Tema 2 Stigma: diperoleh 3 kategori yaitu kategori satu tentang kondisi lingkungan sosial dengan kata kunci “tetangga tutup pintu semua dan menjauhi…”. Kategori dua tentang perubahan psikososial dengan kata kunci “malu kalau positif COVID-19, lebih baik diam saja daripada nanti jadi repot, dijauhi tetangga, nggak bisa kemana-mana…”. Kategori 3 tentang dukungan sosial dengan kata kunci “ingin tetap ada yang membantu, ingin ditolong dan diperhatikan orang lain serta tetangga…”.
Tema 3 Kemampuan Baru: diperoleh 2 kategori yaitu kategori satu tentang tehnik untuk merubah perilaku dalam mencegah penularan dengan kata kunci “jadi lebih paham mengenai istilah perilaku baru, ada cara supaya kita tetap sehat…”. Kategori dua tentang penerapan adaptasi perilaku baru dengan kata kunci “setiap hari kami perlu melakukan perilaku baru itu, ada kebersamaan, saling memperhatikan dan mengingatkan…”.
Berdasarkan data-data yang sudah dipaparkan pada hasil diatas, dapat dinyatakan secara deskriptif kuantitatif dan kualitatif dari kegiatan DKJPS berbasis masyarakat memberikan hasil bahwa persepsi masyarakat mengalami peningkatan. Pengukuran persepsi masyarakat tersebut meliputi tiga aspek yaitu pemahaman tentang COVID-19, AKB dan DKJPS. Pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali dari minggu pertama hingga minggu ke empat menunjukkan bahwa masing-masing meningkat sebesar 100%. Jika ditelaah berdasarkan rata-rata peningkatannya, maka yang paling baik adalah persepsi masyarakat tentang COVID-19 yaitu 81,3%. Hal ini juga didukung dengan adanya data hasil wawancara bahwa semua partisipan (25 informan) menyatakan mereka jadi lebih memahami mengenai COVID-19 karena setiap hari mereka mendengar dan melihat beritanya. Sedangkan data mengenai persepsi tentang AKB dan DKJPS rata-rata peningkatannya sebesar 69,9% dan 68,5%, Hal yang menyebabkan hal tersebut, diantaranya adalah sebagain besar responden mengatakan baru mengetahui mengenai konsep DKJPS dan AKB.
Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa persepsi masyarakat sangatlah dipengaruhi oleh banyaknya sumber informasi yang dapat diakses oleh masyarakat mengenai sesuatu hal. Informasi mengenai COVID-19 sangatlah mudah untuk diperoleh melalui berbagai sumber dan media informasi. Bahkan informasi tersebut terpajang pada setiap sudut lingkungan mulai dari lingkungan perkotaan sampai pelosok desa. Sementara, informasi mengenai AKB serta DKJPS memerlukan akses yang lebih spesifik untuk dapat diperoleh masyarakat, sehingga angka rata-rata peningkatannya masih lebih rendah dibanding informasi mengenai COVID-19.
Hal ini selaras dengan pengertian persepsi menurut Suranto (2011) bahwa persepsi adalah suatu proses identifikasi sesuatu dengan menggunakan panca indra. Persepsi merupakan peran yang sangat penting dalam keberhasilan komunikasi. Artinya, kecermatan dalam mempersepsikan stimuli indrawi mengantarkan kepada keberhasilan komunikasi. Sebaliknya, kegagalan dalam mempersepsi stimulus, menyebabkan mis-komunikasi. Berkaitan dengan konsep tersebut, maka dapat dijelaskan bahwa kegiatan DKJPS berbasis masyarakat ini memiliki daya ungkit untuk mempercepat keberhasilan dalam berkomunikasi dengan berbagai sumber media yang dapat dipergunakan walaupun masih dalam masa pandemi.
Selanjutnya data mengenai kegiatan DKJPS berbasis masyarakat juga telah menunjukkan bahwa terjadi adanya peningkatan untuk kepatuhan masyarakat dalam mengisi Google Form skrining Kesehatan jiwa. Skrining Kesehatan jiwa yang dipergunaka adalah Self Reporting Quesionare (SRQ) 29 terjemahan dalam Bahasa Indonesia. Responden yang diperbolehkan mengisi skrining ini adalah mereka yang berusia 15 tahun ke atas. Responden mengisi sebanyak tiga kali yaitu di hari pertama dan hari ke limabelas serta hari ke tigapuluh. Hasil pengambilan data menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan kepatuhan dalam melakukan skrining kesehatan jiwa sebesar 85% dengan rata-rata peningkatan sebesar 49,3%. Hal ini dapat menjelaskan bahwa sebagian besar masyarakat patuh dalam melakukan skrining dikarenakan mereka sedang memerlukan koreksi kesehatan jiwa terhadap dirinya sendiri mengingat dampak yang mungkin mereka alami selama masa pandemi. Hasil wawancara dari 25 partisipan menyampaikan bahwa mereka tidak perlu malu karena dapat mengoreksi sendiri mengenai kondisi kesehatan jiwanya. Mereka tidak lagi merasa takut, malu atau merasa takut dikucilkan oleh keluarga serta tetangga. Mereka merasa tidak sendiri, karena adanya kebersamaan, saling membantu, menolong, berbagi informasi positif dengan banyak orang. Selain itu juga mereka dapat bertanya, berdiskusi secara langsung dengan tim pendamping DKJPS yang berada dalam datu grup.
Data terkait dengan kepatuhan responden dalam mengisi Google Form AKB mencapai angka sebesar 83,4% dengan rata-rata peningkatan 47,7%. Hal ini juga memberikan bukti bahwa sebagian besar responden sangat memerlukan adanya cara yang dapat mereka pergunakan untuk meningkatkan kesehatan fisik dan jiwa walaupuan hanya berdiam diri di rumah. Bagi responden yang tetap bekerja, form AKB tetap mereka mengisi karena aksesnya menjadi lebih mudah dan mereka kerjakan bersama-sama teman sekantor. Berikutnya kepatuhan responden dalam berbagi kepada orang lain mencapai 62,9% dengan rata-rata peningkatan 36,6%. Hal yang menjadi penghambat rendahnya capaian adalah tidak semua keluarga atau masyarakat memiliki akses internet, selain itu juga informasi tentang DKJPS serta AKB belum menyebar secara merata.
Kepatuhan masyarakat sangatlah dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adanya kepentingan yang menguntungkan bagi dirinya sendiri serta keluarganya atau orang terdekatnya. Selain itu juga sangat dipengaruhi oleh faktor kemudahan untuk melakukannya. Kepatuhan merupakan suatu bentuk perilaku seseorang dan berasal dari dorongan yang ada dalam dirinya sendiri dalam memenuhi kebutuhan yang diperlukannya. Hal ini selaras dengan pengertian kepatuhan yang disampaikan oleh Santoso (2009) bahwa kepatuhan telah diteliti pada ilmu-ilmu sosial khususnya di bidang psikologis dan sosiologi yang lebih menekankan pada pentingnya proses sosialisasi dalam mempengaruhi perilaku kepatuhan seorang individu. Berdasarkan konsep tersebut dijelaskan bahwa dengan adanya kegiatan pendampingan DKJPS berbasis masyarakat ini dapat menjadi media untuk melakukan upaya sosialisasi karena adanya pendampingan setiap hari selama 30 hari, sehingga responden menjadi lebih patuh terhadap kegiatan yang disarankan.
Berikutnya adalah data mengenai kemampuan masyarakat dalam menerapkan AKB. Hal ini dapat dibuktikan dengan angka bahwa ada peningkatan kemampuan dalam penerapan AKB sebesar 75% dengan nilai rata-rata peningatan sebesar 41%. Hasil wawancara dari 25 partisipan menyatakan bahwa mereka perlu menerapkan perilaku baru karena menjadi cara mereka untuk lebih sehat serta dapat mencegah penularan COVID-19. Mereka merasa sudah memiliki cara yang baik untuk mencegah COVID-19 dan dapat dibagikan kepada orang lain yang memerlukannya. Berdasarkan data tersebut dapat kita maknai bahwa telah terjadi perubahan perilaku masyarakat dalam mencegah penularan serta penyebaran kasus COVID-19 melalui penerapan AKB. Perilaku positif seseorang akan sangat tergantung dari aspek internal serta eksternal yang memengaruhinya. Aspek positif dapat berasal dari motivasi diri sendiri serta motivasi dari lingkungan terdekat atau lingkungan luar dirinya.
Data terkait dengan kemampuan responden dalam melakukan deteksi kesehatan jiwa yaitu sebesar 67% dengan rata-rata peningkatan 38%. Responden dalam hal ini terkait dengan kemampuannya untuk melakukan deteksi kesehatan jiwa kepada orang lain yaitu anggota keluarganya yang berusia diatas 15 tahun atau keluarga lain yang menjadi binaannya. Selanjutnya data terkait dengan kemampuan KIE dengan orang lain yaitu sebesar 48,4% dengan rata-rata peningkatan 24,6%. Hal ini memang masih sangat rendah dikarenakan pemberian materi hanya satu kali, walaupun sudah diperkuat dengan diskusi melalui media grup WhatsApp, ternyata masih kurang optimal juga. Penyebab lain karena situasi yang memang masih kurang mendukung yaitu situasi pandemi dengan berbagai informasi yang terkadang ada yang mengarah kepada berita hoax. Hal ini menjadi salah satu penghambat pada saat responden akan memberikan informasi tentang COVID-19, DKJPS serta AKB. Sebagian besar responden juga menyatakan terkadang kurang percaya diri untuk menyampaikan kepada orang lain atau tetangga karena mereka pun masih dtahapan belajar dan baru mengenal materi ini.
Hasil diatas sangatlah sesuai dengan pernyataan dari Tindaon (2016) promosi dapat dilakukan dengan pendekatan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) berbagai kategori kelompok sasaran. Setiap jenis kelompok sasaran masyarakat cara KIE yang berbeda satu sama lain. Kedalaman tujuan KIE pun berbeda-beda, mulai dari KIE yang hanya mengubah pengetahuan sampai pada pengubahan sikap mental dan keterampilan. Untuk mengubah pengetahuan, KIE dapat dilakukan dengan komunikasi yang bersifat informatif saja. Sedangkan untuk mengubah sikap mental dan keterampilan, KIE harus dilakukan dengan komunikasi yang terus-menerus, terencana, dan dilaksanakan secara sistematis (Badan POM RI 2012)
Hal tersebut seiring dengan pengertian kata kemampuan menurut KBBI menyatakan bahwa kemampuan berasal dari kata “mampu” yang berarti kuasa (bisa, sanggup, melakukan sesuatu, dapat, berada, kaya, mempunyai harta berlebihan). Selanjutnya pengertian kemampuan adalah suatu kesanggupan dalam melakukan sesuatu. Seseorang dikatakan mampu apabila ia bisa melakukan sesuatu yang harus ia lakukan. Dalam hal ini dapat diberikan simpulan bahwa kegiatan pendampingan DKJPS berbasis masyarakat sangatlah memberi dampak positif terhadap peningkatan kemampuan masyarakat dalam penerapan AKB. Hal ini sangatlah menunjang untuk percepatan terhadap upaya pencegahan penularan COVID-19 sehingga diharapkan dapat meminimalisir penambahan kasus COVID-19 di kemudian hari.
Hambatan yang diperoleh selama pelaksanaan kegiatan yaitu 15% responden tidak memiliki alat komunikasi secara pribadi (handphone, gadget, laptop). Hal lain yang menghambat adalah akses internet atau sinyal serta paket data yang dimiliki oleh responden. Hambatan berikutnya adalah kemampuan responden dalam menggunakan alat komunikasi yang dimilikinya. Selain itu juga masih banyaknya informasi yang mengarah kepada berita hoax, sehingga memerlukan tantangan tersendiri bagi para responden untuk berbagi informasi. Keterbatasan penelitian yaitu desain yang dipergunakan untuk analisa data sebatas deskriptif sederhana, sementara sampel sudah cukup besar, selain itu juga alat ukur belum dilakukan uji instrumen. Saran untuk selanjutnya yaitu desain mix methode dengan jenis penelitian parametrik, sehingga hasil akan lebih mampu untuk dijeneralisasi pada populasi yang lainnya.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil kegiatan yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa DKJPS berbasis masyarakat mampu meningkatkan pemahaman masyarakat tentang COVID-19. Selanjutnya DKJPS ini juga dapat menjadi salah satu cara untuk mengurangi dampak negatif dari penyebaran serta penularan COVID-19 karena masyarakat memahami strateginya. Hasil berikutnya yaitu DKJPS dapat menjadi salah satu strategi untuk meminimalkan stigma masyarakat terhadap kasus COVID-19 dengan adanya pendampingan dari tenaga kesehatan sehingga mereka tidak merasa dikucilkan. DKJPS berbasis masyarakat ini menjadikan gotong royong sebagai budaya bangsa Indonesia sebagai upaya untuk peduli terhadap sesama sehingga mereka dapat berbagi suka dan duka. Hal tersebut juga didukung dengan adanya data yang diperoleh melalui paparan distribusi frekuensi dengan jumlah sampel sebanyak 672 responden dan diperkuat dengan adanya data kualitatif dari hasil wawancara kepada 25 partisipan. Organisasi Profesi dapat menjadi fasilitator yang handal dalam menggerakkan dan memberdayakan potensi yang ada di masyarakat dalam rangka mengatasi dan mencegah penularan COVID-19.
Referensi :
- The Lancet Psychiatri. (2021). COVID-19 and Mental Health: Volume 8, Issue 2, P87, February 01, 2021. https://doi.org/10.1016/S2215-0366(21)00005-5.
- Vebiyanti, D. (2020). Kesehatan Mental Masyarakat: Mengelola Kecemasan Di Tengah Pandemi Covid-19. Jurnal Kependudukan Indonesia.Edisi Khusus Demografi dan COVID-19, Juli 2020. 69-74.
- Ns. Linda Dwi Novial Fitri,M.Kep, Sp.Kep Jiwa (2021), Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psikososial Berbasis Masyarakat Selama Masa Pandemi Covid-19 Di Samarinda Kalimantan Timur. September 2021.
Komentar Terbaru